Minggu, 13 Maret 2016









MUSIM ISTRI  MENGHILANG...HATI-HATI MEMILIH TEMPAT MENGAJI

Oleh    : Ustadz Iip Wijayanto


            MEDIA MASSA ramai memberitakan orang-orang yang tiba-tiba menghilang dari rumahnya, dari tempat kerjanya, dari keluarganya. Dari semua yang menghilang, mayoritas didominasi para istri...ibu-ibu muda meskipun ada juga yang menghilang satu paket bersama suaminya. Hebatnya, mereka berasal dari kelas masyarakat yang berpendidikan tinggi. Sangat terpelajar dan melek referensi. Muncul dugaan jika orang-orang ini sengaja menghilang untuk bergabung dengan jama’ah, kelompok ataupun komunitas tempat mereka mengaji sebelumnya. Pertanyaannya, fenomena apa yang sedang terjadi ini? Jika persoalan ini kita lihat dari perpspektif sosiologi historis...fenomena ini sebenarnya fenomena biasa, berulang dan sangat sering terjadi. Perbedaan visi dan cara memahami Agama, membuat anggota kelompok yang sudah “jadi”...beberapa kelompok memberlakukan sistem bai’at (sumpah setia) untuk menyingkir dari lingkungannya yang tidak bisa menerima paham mereka untuk mendapatkan ruang yang lebih leluasa di dalam menjalankan doktrin-doktrin kelompoknya. Cara yang paling efektif ada dua, memilih lingkungan yang sekuler sama sekali dan tidak peduli dengan deviasi doktriner keagamaan tau memilih “hijrah (baca:pindah)” ke lingkungan yang homogen dengan cara pemahaman keagamaan mereka. Untuk konteks negara kita, tentu sangat sulit mencari lingkungan yang murni sekuler. Di sebuah lingkungan RT, tetap ada tokoh-tokoh Agama yang dijadikan panutan dan tempat masyrakat bertanya sebagai mekanisme pertahanan aqidah masyarakat. Kecuali jika mereka “hijrah” ke benua Amerika atau Eropa. Lingkungan yang sama sekali baru dan tidak memiliki kontak relasi sosial sebelumnya dengan mereka. Jika dana terbatas, maka opsi paling mudah adalah merapat ke komunitasnya tadi. Dan secara psikologis, perasaan sebagai kelompok minoritasdan berbeda  dalam masyarakat dengan pemahaman yang sudah mapan...membuat solidaritas di antara mereka cukup kuat dan erat. Maka, anggota jama’ah yang punya fasilitas siap menampung rekruitmen-rekruitmen baru tadi di rumah-rumah mereka. Mereka memahami ini sebagai “hijrah”. Dan terminologi ini sangat populer di tengah-tengah kelompok-kelompok tersebut. Sementara bagi keluarga, suami, lingkungan kerja yang ditinggalkan menganggap mereka sebagai orang yang hilang...atau menghilang.
            Kita tidak dapat menafikan bahwa di sepanjang zaman dalam tarikh dakwah, selalu saja muncul orang-orang dengan paham-paham sempalan, puritan hingga menyimpang sama sekali. Sejak zaman para sahabatpun, sudah disibukkan dengan perang melawan nabi-nabi palsu. Dalam kurun waktu awal Islam, perang yang paling terkenal yang tercatat dalam kitab-kitab sejarah adalah perang melawan nabi palsu Musailamah Al-Kadzhab. Di Indonesia nabi-nabi palsu terus saja bermunculan. Pendekatan persuasif berupa pembinaan untuk kembali kepada prinsip akidah yang benar tidak memberi kesan. Hukuman penjarapun tidak membuat nabi-nabi palsu ini jera. Dan kembali aktif menyebarkan ajaran sesatnya setelah keluar dari penjara. Bekas pengikut yang sudah dibina untuk kembali ke prinsip akidah yang benar dengan cepat merapat kembali kepada nabi-nabi palsu ini karena sudah terpikat dengan pesona dan fanatisme yang begitu mengakar, juga terikat dengan “bai’at” yang sudah pernah diikrarkan.
            Adapun skema pola penyebaran paham ini, jika kita teliti dan cermati relatif sama. Yakni menyasar komunitas dengan pendidikan rendah non santri (tidak memiliki tokoh rujukan) atau komunitas dengan pendidikan tinggi, dengan latar belakang pendidikan eksakta dan juga non-santri. Hampir tidak ada catatan kelompok-kelompok menyimpang, sesat atau puritan ini bisa merekruit kader dan anggota di masyarakat santri yang biasa mengaji dan punya tokoh ulama sebagai referensi hidup atau masyarakat kampus dengan latar belakang santri. Sebagai contoh, dakwah kelompok-kelompok konservatif dan radikal yang mengajak ummat untuk berjihad secara internasional akan ditolak secara alamiah karena para kyai di pesantren mengajarkan doktrin jihad yang benar, yang hanya bisa diputuskan oleh negara dan pemerintah. Bukan oleh perseorangan atau ulama, atau melalui fatwa ulama. Kelompok-kelompok ini biasanya akan lebih berhasil menyebarkan pahamnya di perguruan tinggi – perguruan tinggi terkenal...khususnya di prodi-prodi eksakta seperti kedokteran dan teknik. Begitu juga dengan kelompok-kelompok dakwah dengan penampilan eksklusif, berdandan dengan busana ala pakistan. Secara isi (materi ilmu dakwah) mereka mentah sekali. Rata-rata dengan kemampuan ilmu alat seperti nahwu, shorof, lughot, tajwid, nagham yang sangat terbatas. Bahkan banyak yang tidak kenal ilmu itu sama sekali. Pokoknya asal ketemu orang diceramahi saja. Begitu mereka masuk ke komunitas masyarakat santri, tentu pendekatan demikian dan contain yang minimalis hanya akan menjadi bahan tertawaan saja. Tetapi lagi-lagi kelompok ini bisa merekruit banyak orang di lingkungan non santri, lingkungan kampus eksakta dan juga lingkungan artis dan pekerja seni. Pola ini pula yang diikuti oleh kelompok-kelompok yang menyimpang sama sekali tadi. Mereka masuk ke komunitas-komunitas non-santri, lingkungan kampus non-santri dan juga lingkungan-lingkungan yang tidak melek referensi dan tidak memiliki tokoh rujukan.
            Apa yang bisa kita lakukan untuk melindungi keluarga kita dari faham-faham yang demikian...? Jawabannya adalah memperkuat pemahaman akidah di tengah-tengah keluarga sendiri. Seorang suami sebagai kepala keluarga dan penanggung jawab keluarganya, harus berusaha belajar menjadi orang yang melek referensi Agama. Belajar Agama kepada ahli Agama di pesantren-pesantren dengan reputasi yang bagus atau secara intensif menimba ilmu kepada ulama-ulama dengan track record keilmuan yang bagus dan valid. Akhir-akhir ini juga banyak bermunculan kelompok-kelompok kajian tafsir...juga dengan penafsiran yang meresahkan masyarakat dan justru memicu perpecahan.Ada beberapa prinsip yang harus ditanamkan kepada seluruh anggota keluarga, yakni tentang pemahaman akidah yang benar. Bahwa dalam Islam penutup dari rangkaian Nabi dan Rasul adalah Rasulullah SAW. Beliau adalah penutup dari seluruh Nabi dan Rasul yang pernah diutus. Tidak ada nabi lagi setelah beliau (Laa nabiya ba’da).
            Sehingga, ketika ada kelompok-kelompok baru yang mengusung klaim pemimpinnya sebagai nabi seperti yang banyak ditemukan, maka 100% dipastikan pemimpin kelompok baru itu adalah nabi palsu dan wajiblah kelompok itu untuk dihindari dan ditolak. Demikian juga jika ada kelompok yang mengajarkan pengikutnya untuk tidak sholat, tidak menutupi aurat, menajiskan kelompok yang tidak sepaham...maka wajib pula kelompok-kelompok ini dihindari dan ditolak.Jika seluruh anggota keluarga bisa memahami hal-hal ini, maka ketika mereka berhadapan dengan tim rekruiter kelompok-kelompok menyimpang tadi mereka bisa tegas menolak dan menghindar. Karena menjaga anggota keluarga selama 24 jam juga tidak mungkin. Maka cara yang paling baik adalah dengan membentengi diri mereka masing-masing, melalui dakwah intensif di tengah-tengah keluarga dan himbauan terus menerus agar anggota keluarga selalu berhati-hati dalam memilih tempat mengaji.Wallahu A’lamu Bishawwab





Tidak ada komentar:

Posting Komentar