MUSIM
ISTRI MENGHILANG...HATI-HATI MEMILIH TEMPAT MENGAJI
Oleh : Ustadz Iip Wijayanto
MEDIA
MASSA ramai memberitakan orang-orang yang tiba-tiba menghilang dari
rumahnya, dari tempat kerjanya, dari keluarganya. Dari semua yang menghilang,
mayoritas didominasi para istri...ibu-ibu muda meskipun ada juga yang
menghilang satu paket bersama suaminya. Hebatnya, mereka berasal dari kelas
masyarakat yang berpendidikan tinggi. Sangat terpelajar dan melek referensi.
Muncul dugaan jika orang-orang ini sengaja menghilang untuk bergabung dengan
jama’ah, kelompok ataupun komunitas tempat mereka mengaji sebelumnya.
Pertanyaannya, fenomena apa yang sedang terjadi ini? Jika persoalan ini kita
lihat dari perpspektif sosiologi historis...fenomena ini sebenarnya fenomena
biasa, berulang dan sangat sering terjadi. Perbedaan visi dan cara memahami
Agama, membuat anggota kelompok yang sudah “jadi”...beberapa kelompok
memberlakukan sistem bai’at (sumpah setia) untuk menyingkir dari lingkungannya
yang tidak bisa menerima paham mereka untuk mendapatkan ruang yang lebih
leluasa di dalam menjalankan doktrin-doktrin kelompoknya. Cara yang paling
efektif ada dua, memilih lingkungan yang sekuler sama sekali dan tidak peduli
dengan deviasi doktriner keagamaan tau memilih “hijrah (baca:pindah)” ke
lingkungan yang homogen dengan cara pemahaman keagamaan mereka. Untuk konteks
negara kita, tentu sangat sulit mencari lingkungan yang murni sekuler. Di
sebuah lingkungan RT, tetap ada tokoh-tokoh Agama yang dijadikan panutan dan
tempat masyrakat bertanya sebagai mekanisme pertahanan aqidah masyarakat.
Kecuali jika mereka “hijrah” ke benua Amerika atau Eropa. Lingkungan yang sama
sekali baru dan tidak memiliki kontak relasi sosial sebelumnya dengan mereka.
Jika dana terbatas, maka opsi paling mudah adalah merapat ke komunitasnya tadi.
Dan secara psikologis, perasaan sebagai kelompok minoritasdan berbeda dalam masyarakat dengan pemahaman yang sudah
mapan...membuat solidaritas di antara mereka cukup kuat dan erat. Maka, anggota
jama’ah yang punya fasilitas siap menampung rekruitmen-rekruitmen baru tadi di
rumah-rumah mereka. Mereka memahami ini sebagai “hijrah”. Dan terminologi ini
sangat populer di tengah-tengah kelompok-kelompok tersebut. Sementara bagi
keluarga, suami, lingkungan kerja yang ditinggalkan menganggap mereka sebagai
orang yang hilang...atau menghilang.
Kita tidak dapat menafikan bahwa di
sepanjang zaman dalam tarikh dakwah, selalu saja muncul orang-orang dengan
paham-paham sempalan, puritan hingga menyimpang sama sekali. Sejak zaman para
sahabatpun, sudah disibukkan dengan perang melawan nabi-nabi palsu. Dalam kurun
waktu awal Islam, perang yang paling terkenal yang tercatat dalam kitab-kitab
sejarah adalah perang melawan nabi palsu Musailamah Al-Kadzhab. Di Indonesia
nabi-nabi palsu terus saja bermunculan. Pendekatan persuasif berupa pembinaan
untuk kembali kepada prinsip akidah yang benar tidak memberi kesan. Hukuman
penjarapun tidak membuat nabi-nabi palsu ini jera. Dan kembali aktif
menyebarkan ajaran sesatnya setelah keluar dari penjara. Bekas pengikut yang
sudah dibina untuk kembali ke prinsip akidah yang benar dengan cepat merapat
kembali kepada nabi-nabi palsu ini karena sudah terpikat dengan pesona dan
fanatisme yang begitu mengakar, juga terikat dengan “bai’at” yang sudah pernah
diikrarkan.
Adapun skema pola penyebaran paham
ini, jika kita teliti dan cermati relatif sama. Yakni menyasar komunitas dengan
pendidikan rendah non santri (tidak memiliki tokoh rujukan) atau komunitas
dengan pendidikan tinggi, dengan latar belakang pendidikan eksakta dan juga
non-santri. Hampir tidak ada catatan kelompok-kelompok menyimpang, sesat atau
puritan ini bisa merekruit kader dan anggota di masyarakat santri yang biasa
mengaji dan punya tokoh ulama sebagai referensi hidup atau masyarakat kampus
dengan latar belakang santri. Sebagai contoh, dakwah kelompok-kelompok
konservatif dan radikal yang mengajak ummat untuk berjihad secara internasional
akan ditolak secara alamiah karena para kyai di pesantren mengajarkan doktrin
jihad yang benar, yang hanya bisa diputuskan oleh negara dan pemerintah. Bukan
oleh perseorangan atau ulama, atau melalui fatwa ulama. Kelompok-kelompok ini
biasanya akan lebih berhasil menyebarkan pahamnya di perguruan tinggi –
perguruan tinggi terkenal...khususnya di prodi-prodi eksakta seperti kedokteran
dan teknik. Begitu juga dengan kelompok-kelompok dakwah dengan penampilan
eksklusif, berdandan dengan busana ala pakistan. Secara isi (materi ilmu
dakwah) mereka mentah sekali. Rata-rata dengan kemampuan ilmu alat seperti nahwu,
shorof, lughot, tajwid, nagham yang sangat terbatas. Bahkan banyak yang tidak
kenal ilmu itu sama sekali. Pokoknya asal ketemu orang diceramahi saja. Begitu
mereka masuk ke komunitas masyarakat santri, tentu pendekatan demikian dan
contain yang minimalis hanya akan menjadi bahan tertawaan saja. Tetapi
lagi-lagi kelompok ini bisa merekruit banyak orang di lingkungan non santri,
lingkungan kampus eksakta dan juga lingkungan artis dan pekerja seni. Pola ini
pula yang diikuti oleh kelompok-kelompok yang menyimpang sama sekali tadi.
Mereka masuk ke komunitas-komunitas non-santri, lingkungan kampus non-santri
dan juga lingkungan-lingkungan yang tidak melek referensi dan tidak memiliki
tokoh rujukan.
Apa yang bisa kita lakukan untuk
melindungi keluarga kita dari faham-faham yang demikian...? Jawabannya adalah
memperkuat pemahaman akidah di tengah-tengah keluarga sendiri. Seorang suami
sebagai kepala keluarga dan penanggung jawab keluarganya, harus berusaha
belajar menjadi orang yang melek referensi Agama. Belajar Agama kepada ahli
Agama di pesantren-pesantren dengan reputasi yang bagus atau secara intensif
menimba ilmu kepada ulama-ulama dengan track record keilmuan yang bagus dan
valid. Akhir-akhir ini juga banyak bermunculan kelompok-kelompok kajian
tafsir...juga dengan penafsiran yang meresahkan masyarakat dan justru memicu
perpecahan.Ada beberapa prinsip yang harus ditanamkan kepada seluruh anggota
keluarga, yakni tentang pemahaman akidah yang benar. Bahwa dalam Islam penutup
dari rangkaian Nabi dan Rasul adalah Rasulullah SAW. Beliau adalah penutup dari
seluruh Nabi dan Rasul yang pernah diutus. Tidak ada nabi lagi setelah beliau (Laa nabiya ba’da).
Sehingga, ketika ada
kelompok-kelompok baru yang mengusung klaim pemimpinnya sebagai nabi seperti
yang banyak ditemukan, maka 100% dipastikan pemimpin kelompok baru itu adalah
nabi palsu dan wajiblah kelompok itu untuk dihindari dan ditolak. Demikian juga
jika ada kelompok yang mengajarkan pengikutnya untuk tidak sholat, tidak
menutupi aurat, menajiskan kelompok yang tidak sepaham...maka wajib pula
kelompok-kelompok ini dihindari dan ditolak.Jika seluruh anggota keluarga bisa
memahami hal-hal ini, maka ketika mereka berhadapan dengan tim rekruiter
kelompok-kelompok menyimpang tadi mereka bisa tegas menolak dan menghindar.
Karena menjaga anggota keluarga selama 24 jam juga tidak mungkin. Maka cara
yang paling baik adalah dengan membentengi diri mereka masing-masing, melalui
dakwah intensif di tengah-tengah keluarga dan himbauan terus menerus agar
anggota keluarga selalu berhati-hati dalam memilih tempat mengaji.Wallahu A’lamu Bishawwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar